Prinsip dan Etika Bisnis Syariah
1:19 AM
Dalam
 lima tahun terakhir perkembangan bisnis dengan latar belakang agama, 
yaitu Islam kian marak dan menjamur. Meski baru sebatas dibidang 
perbankan, asuransi, micro finance, pendidikan, kesemuanya merupakan 
fenomena yang menarik untuk dicermati. Hingga saat ini kita sudah tidak 
asing lagi dengan istilah Bank Syariah sebagaimana yang pertama kali 
dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Syariah, TK-SD Islam 
Terpadu, dan lain sebagainya. Maka tidak berlebihan kalau kemudian M. 
Syafi’i Antonio mengatakan “Spiritual is the Soul of Advance and 
Integrated Marketing”.
Seiring
 dengan kesadaran masyarakat Indonesia–yang mayoritas penduduknya 
muslim—terhadap keharusan menggunakan dan memanfaatkan produk (barang 
maupun jasa) yang halal dan barokah, maka peran produsen atau 
perusahaan-perusahaan berbasis syariah menjadi sebuah alternative masa 
depan yang sangat menjanjikan. Barangkali ini dianggap terlalu optimis. 
Tapi itulah trend yang sekarang sedang menuju ke arah sana.
Jika
 melihat perkembangan bisnis syariah termasuk juga lembaga-lembaga 
syariah di negara-negara muslim lainnya seperti Kuwait, Uni Emirat Arab,
 Malaysia, bahkan Singapura, Indonesia sudah tertinggal cukup jauh. Tak 
kalah heboh, Negara-negara Eropa pun kini sedang berpikir untuk membuka 
unit-unit usaha syariah.
Satu
 sisi tentang perkembangan itu kita semua patut bersyukur. Namun pada 
sisi yang lain, kita juga patut waspada. Mengapa? Karena bukan tidak 
mungkin berbagai variasi produk syariah yang bermunculan saat ini 
ternyata tidak lebih dari sekedar ‘berganti nama’. Secara paradigmatic 
sebuah perusahaan bisa saja tetap berpijak pada konsep bisnis 
sekuler-kapitalistik, tapi di poles dengan polesan syariah atau tepatnya
 etika Islami, seperti : jujur, amanah dan sejenisnya. Al hasil, yang 
penting bagi perusahaan itu mendapatkan market share yang menguntungkan 
di pasar syariah.
Religion
 brand sebagaimana produk syariah kini, meski mungkin pangsa pasarnya 
lebih spesifik dan sangat segmented, sangat mungkin dalam waktu dekat 
akan menjadi produk yang banyak dibutuhkan oleh semua orang, bukan saja 
umat Islam. Inilah tantangan kita, khususnya bagi pengusaha muslim untuk
 membangun peradaban bisnis yang syar’i. Bukan saja sekedar polesan, 
tapi juga asas, konsep, manusia, implementasi dan hasil yang benar-benar
 menampilkan sosok bisnis berbasis syariah yang utuh, unik dan barokah.
Dalam
 konteks perkuliahan etika bisnis syariah, judul makalah ini sebenarnya 
merupakan titik temu dari materi sebelumnya. Karena bisnis syariah 
sejatinya berupa perbankan syari’ah, asuransi syariah, pegadaian syariah
 pasar modal syariah, penjaminan syariah, hotel syariah dan lainnya 
(lembaga keuangan dan bukan keuangan). Nah, bagaimana bisnis syariah ini
 dijalankan dan bagaimana perkembangannya di Indonesia, akan dibahas 
dalam makalah ini.
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN ETIKA BISNIS
Di
 zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam 
dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih 
banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang ekonom klasik 
Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai 
tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan 
Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan 
ekonomis belaka.
Di
 Indonesia Paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di 
Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam
 jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan 
barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank
 oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang
 didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media 
elektronik.
Di
 Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh
 para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, 
mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu 
ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh 
sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value 
free). Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, 
menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi
 menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka
 masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, 
etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. 
Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang
 sebesar-besarnya. 
Kebangkitan Etika Bisnis 
Sebenarnya,
 Di Barat sendiri, pemikiran yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi 
bersifat netral etika seperti di atas, akhir-akhir ini telah digugat 
oleh sebagian ekonom Barat sendiri. Pandangan bahwa ilmu ekonomi bebas 
nilai, telah tertolak. Dalam ilmu ekonomi harus melekat nuansa normatif 
dan tidak netral terhadap nilai-nilai atau etika sosial. Ilmu ekonomi 
harus mengandung penentuan tujuan dan metode untuk mencapai tujuan. 
Pemikiran ini banyak dilontarkan oleh Samuel Weston, 1994, yang 
merangkum pemikiran Boulding(1970), Mc Kenzie (1981), dan Myrdal (1984).
Pada
 tahun 1990-an Paul Ormerof, seorang ekonom kritis Inggris menerbitkan 
bukunya yang amat menghebohkan “The Death of Economics, Ilmu Ekonomi 
sudah menemui ajalnya. (Ormerof,1994). Tidak sedikit pula pakar ekonomi 
millenium telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral dalam kehidupan
 ekonomi dan bisnis modern. Amitas Etzioni menghasilkan karya monumental
 dan menjadi best seller; The Moral dimension: Toward a New Economics 
(1988). Berbagai buku etika bisnis dan dimensi moral dalam ilmu ekonomi 
semakin banyak bermunculnan.
Jadi,
 menjelang millenium ketiga dan memasuki abad 21, konsep etika mulai 
memasuki wacana bisnis. Wacana bisnis bukan hanya dipengaruhi oleh 
situasi ekonomis, melainkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, 
politik, teknologi, serta pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang 
para pelaku bisnis atau ahli ekonomi. Keburukan-keburukan bisnis mulai 
dibongkar. Mulai dari perkembangan pasar global, resesi yang 
mengakibatkan pemangkasan anggaran PHK, enviromentalisme, tuntutan para 
karyawan yang makin melampaui sekedar kepuasan material, aktivisme para 
pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan go public atau trans 
nasional, kaedah-kaedah baru di bidang managemen, seperti Total Quali¬ty
 Management, rekayasa ulang dan bencmarking yang menghasilkan pemipihan 
hirarki dan empowerment, semuanya telah men¬ingkatkan kesadaran orang 
tentang keniscayaan etika dalam aktivitas bisnis.
Contoh
 kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis 
Barat -yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang 
amat riskan- mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi 
spekulasi. Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan 
bahwa kejahatan spekulasi yang agressif, paling baik bila dicegah dengan
 kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis 
tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius. Mungkin karena 
itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan memperbaiki 
moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab, bagi 
kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua 
industri”.
Pandangan-pandangan
 di atas menunjukkan, bahwa di Barat telah muncul kesadaran baru tentang
 pentingnya dimensi etika memasuki lapangan bisnis. 
Kecenderungan Baru 
Perusahaan-perusahaan
 besar, model abad 21, kelihatannya juga mempunyai kecenderungan baru 
untuk mengimplementasikan etika bisnis sebagai visi masyarakat yang 
bertanggung-jawab secara sosial dan ekonomis. Realitas di atas, 
dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh James Liebig, 
penulis Merchants of Vision. Dalam penelitian itu, ia mewawancarai 
tokoh-tokoh bisnis di 14 negara. James Liebig menemukan enam perspektif,
 yang umum berlaku, sbb: 1. Bertindak sesuai etika, 2. Mempertinggi 
keadilan sosial, 3. Melindungi lingkungan, 4. Pemberdayaan kreatifitas 
manusia, 5. Menentukan visi dan tujuan bisnis yang bersifat sosial dan 
melibatkan para karyawan dalam membangun dunia bisnis yang lebih baik, 
menghidupkan sifat kasih sayang dan pelayanan yang baik dalam proses 
perusahaan, 6. Meninjau ulang pandangan klasik tentang paradigma ilmu 
ekonomi yang bebas nilai. Perspektif di atas menunjukkan bahwa etika 
bisnis yang selama ini jadi cita-cita, kini benar-benar menjadi mudah 
diwujudkan sebagai kenyataan.
Dengan
 demikian, tidak ada alasan untuk menolak etika dalam dunia bisnis, 
bahkan kepatuhan kepada etika bisnis, sesungguhnya, bersifat kondusif 
terhadap upaya meningkatkan keuntungan pengusaha atau pemilik modal. 
Misalnya, para pengusaha sekarang, percaya bahwa kesenjangan gaji yang 
tidak terlalu besar antara penerima gaji tertinggi dan terendah dan 
fasilitas-fasilitas yang diterima oleh kedua kelompok karyawan ini, akan
 mendorong peningkatan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Karyawan 
yang dulu cendrung dianggap sebagai sekrup dalam mesin besar perusahaan,
 kini diberdayakan. Perempuan yang selam ini sering menjadi korban 
tuntutan efisiensi, sekarang mendapatkan perhatian yang layak.
Perusahaan-perusahaan
 besar kinipun berlomba-lomba menampilkan citra diri yang sadar 
lingkungan, bukan saja lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial 
dan budaya. Jika di sarang kapitalisme sendiri, (Amerika dan Eropa) 
telah mulai berkembang trend baru bagi dunia bisnis, yaitu keniscayaan 
etika, (meskipun mungkin belum sempurna), tentu kemunculannya lebih 
mungkin dan lebih dapat subur di negeri kita yang dikenal agamis ini.
Dari
 paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa eksistensi etika dalam wacana
 bisnis merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam situasi dunia 
bisnis membutuhkan etika, Islam sejak lebih 14 abad yang lalu, telah 
menyerukan urgensi etika  bagi aktivitas bisnis. 
Islam Sumber Nilai dan Etika 
Islam
 merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia 
secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang 
komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok
 kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, 
modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, 
kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut 
hak milik dan hubungan sosial.
Aktivitas
 bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi 
Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi 
lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika 
sehingga aspek nilai tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem 
ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari wacana moralitas, 
karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari 
kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu 
sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif. Namun, kini 
mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-pusat kapitalisme. Suatu 
perkembangan baru yang menggembirakan.
Al-Qur’an
 sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). 
Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang 
harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan 
bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat 
administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).
Rasulullah
 sendiri adalah seorang pedagang bereputasi international yang 
mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). 
Dengan dasar itu Nabi membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. 
Prinsip-prinsip bisnis yang ideal  ternyata pernah dilakukan oleh Nabi 
dan para sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa
 tata ekonomi yang berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam 
lingkup nasional, negara Madinah. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa 
Nabi itu, berguna untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya 
terwujud dalam tata ekonomi dunia yang berkeadilan.
Syed
 Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis 
Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, 
keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.
Tauhid,
 merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, 
termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk 
ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis 
manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan, dan dalam rangka 
melaksanakan titah Tuhan. (QS. 62:10)
Keseimbangan
 dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil. 
Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar 
keuntungan ekonomi (QS.7:31). Kepemilikan individu yang tak terbatas, 
sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan. Dalam Islam, Harta
 mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19)
Kebebasan,
 berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya 
kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia
 bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, 
termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya 
kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam
 Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan 
manusia sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang 
bertanggung jawab dan berkeadilan.
Pertanggungjawaban,
 berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab 
moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis 
dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di 
hadapan Tuhan. 
BAB III
ETIKA BISNIS SYARI’AH
Salah
 satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis.  
Pengertian etika adalah a code or set of principles  which people live 
(kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia). Etika 
adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis 
tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda 
dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan 
buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional 
mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini 
berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa 
menipu itu buruk apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika. Salah 
satu kajian etika yang amat populer memasuki abad 21 di mellinium ketiga
 ini adalah etika bisnis.
Secara
 bahasa, Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ 
li al istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm). Sedang secara 
istilah Syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt 
melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik 
menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun 
muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna 
meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut
 Syafi’I Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri, Syariah tidak 
saja komprehensif, tetapi juga universal. Universal bermakna bahwa 
syariah dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat oleh setiap 
manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang sosial (ekonomi) yang 
tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim dan non-Muslim. (Syariah 
Marketing, Hal. 169). Dengan mengacu pada pengertian tersebut, Hermawan 
Kartajaya dan Syakir Sula memberi pengertian bahwa Bisnis syariah adalah
 bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan penghormatan atas
 hak masing-masing. (Syariah Marketing, hal. 45). Pengertian yang hari 
lalu cenderung normatif dan terkesan jauh dari kenyataan bisnis kini 
dapat dilihat dan dipraktikkan dan akan menjadi trend bisnis masa depan.
1.      Etika bisnis syari’ah
Etika
 dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a 
code or set of principles which people live). Berbeda dengan moral, 
etika merupakan refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu 
itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada 
tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu 
buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan lapangan etika. Perbedaan 
antara moral dan etika sering kabur dan cendrung disamakan. Intinya, 
moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur dan 
bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi 
masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana.Bisnis merupakan bagian 
yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia. 
Sebagai
 bagian dari kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga dihadapkan pada 
pilihan-pilihan penggunaan factor produksi. Efisiensi dan efektifitas 
menjadi dasar prilaku kalangan pebisnis. Sejak zaman klasik sampai era 
modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat 
tempat. Ekonom klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak 
terkait dengan etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab 
perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama 
efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, 
lingkungan rusak dan karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan
 etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam
 kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka 
panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas 
sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan 
internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal yang 
memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan
 tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal
 meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung 
jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek 
lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Abdalla
 Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di Mankata 
State Univeristy menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan 
berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa 
dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan dalam 
bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada 
keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti 
sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak 
diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat
 atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. 
Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan 
mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, 
apakah etika bisnis syariah juga bisa meminimalisir keuntungan atau 
malah merugikan ?. Jawabnya tergantung bagaimana kita melihatnya. Bisnis
 yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah 
seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan 
nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Etika
 yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari 
masyarakat bahkan mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang tidak 
menerapkan nilai-nilai etika dan hanya berorientasi pada laba (tujuan) 
jangka pendek, tidak akan mampu bertahan (survive) dalam jangka panjang.
 Jika demikian, pilihan berada di tangan kita. Apakah memilih keuntungan
 jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih keuntungan jangka 
panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip etika –dalam hal ini etika
 bisnis syariah-.
Bisnis Syariah.
 Bisnis itu dalam Islam merupakan kegiatan berdagang. Kegiatan Bisnis 
Syariah dalam Islam sangat berbeda dengan kegiatan ekonomi sekuler 
(kapitalis) yang beranggapan bahwa dalam setiap urusan bisnis tidak 
dikenal adanya etika sebagai kerangka acuan, sehingga dalam pandangan 
kaum kapitalis bahwa kegiatan bisnis amoral. Prinsip ini menunjukkan 
bahwa setiap kegiatan Bisnis Syariah
 tidak ada hubungannya dengan moral apa pun, bahkan agama sekalipun. 
Menurut ekonomi kapitalis setiap kegiatan ekonomi didasarkan pada 
perolehan kesejahteraan materi sebagai tujuan utama. Dalam Bisnis Syariah manusia memiliki peranan yang sangat penting sebagai pelaku bisnis.
Pemuatan prinsip-prinsip moral dalam sumber hukum menjadikan etika Bisnis Syariah
 sebagai basis yang harus dipegang dan dijalankan seseorang atau 
kelompok dalam melakukan aktivitasnya. Islam membangun pribadi individu 
secara terpadu antara kebutuhan dunia dan akherat secara bersamaan, 
seimbang (harmonis) dengan melihat pertimbangan dan hasil yang akan 
diperoleh sebagai pertanggungjawaban manusia.
2.      Prinsip Dasar dan Etika Dalam Bisnis Syari’ah
Ada
 empat prinsip (aksioma) dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti diterapkan 
dalam bisnis syari’ah, yaitu: Tauhid (Unity/kesatuan), Keseimbangan atau
 kesejajaran (Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will), dan Tanggung 
Jawab (Responsibility).
a.       Tauhid
 mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan 
semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada 
di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan
 absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas 
khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti 
aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang 
telah diberikan.
b.      Keseimbangan
 atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan adanya
 keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai 
suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena 
kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang 
diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar 
diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak 
bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih
 lagi pada kepentingan umat.
c.       Tanggung
 Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas 
segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab 
kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri 
dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri sebagai 
komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat, tapi 
tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa hukum-hukum formal 
maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain sebagainya.
d.      Kebebasan
 merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam,tetapi 
kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif.Kepentingan individu 
dibuka lebar.Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong 
manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang 
dimilikinya.Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan
 pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban 
setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat.infak dan sedekah.
3. Pentingnya Mendorong Etika Bisnis Syariah
Pentingnya
 Mendorong Etika Bisnis Syariah. Industri keuangan dan perbankan syariah
 terus berkembang di Indonesia. Hal tersebut didorong semakin banyaknya 
masyarakat yang menyadari pentingnya bersyariah dalam berekonomi. 
Kondisi tersebut akhirnya mendorong berbagai lembaga keuangan 
konvensional berlomba membuka divisi atau cabang syariah. Tujuannya agar
 dapat memberikan layanan keuangan syariah bagi masyarakat.
Berdasarkan
 data publikasi Bank Indonesia (BI) hingga Juli lalu, terdapat tiga bank
 umum syariah (BUS) dan 24 unit usaha syariah bank umum konvensional 
(UUS BUK). Selain itu, terdapat sebanyak 107 bank perkreditan rakyat 
syariah (BPRS). Sedangkan, berdasarkan data bersumber situs Dewan 
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), asuransi syariah 
saat ini berjumlah lebih dari 37 perusahaan atau cabang syariah. Selain 
itu, terdapat tiga perusahaan reasuransi yang memiliki divisi syariah 
dan lima broker asuransi syariah.
Namun, menurut Chairman Mudharabah Institute, Muhammad Rizal Ismail, perkembangan keuangan dan perbankan syariah tersebut tidak terjadi secara menyeluruh. Perkembangan tersebut hanya terjadi pada sistem dan produk keuangan syariah. Sedangkan, perilaku pelaku keuangan dan perbankan syariah masih menggunakan pola konvensional. ''Saat ini penerapan ekonomi syariah dalam bisnis keuangan dan perbankan syariah hanya 50 persen karena hanya produknya saja dan belum perilaku Sumber Daya Manusianya,'' katanya kepada Republika, Kamis, (30/8).
Rizal menyebutkan, lembaga keuangan syariah hendaknya menerapkan etika bisnis syariah secara konsisten. Sebabnya, bila lembaga tersebut menerapkan etika konvensional dan bertentangan dengan prinsip syariah, hal tersebut diyakini akan memperburuk citra keuangan syariah. Karena itu, lembaga keuangan syariah perlu mendorong penerapan etika bisnis syariah dalam operasi bisnis. Penerapan etika bisnis syariah, menurut Rizal, bertujuan untuk merealisasikan prinsip good corporate governance (GCG) bagi lembaga keuangan syariah. Namun, penerapan GCG bagi lembaga keuangan syariah (LKS) berbeda dengan lembaga keuangan konvensional karena GCG LKS disesuaikan dengan prinsp syariah. ''Misalnya saya masih melihat ada gejala riswah (suap) yang dipraktikkan lembaga bisnis syariah yang dianggap sebagai marketing fee,'' katanya.
Karena itu, menurut Rizal, penerapan etika bisnis syariah penting didukung semua pihak baik pemerintah, regulator moneter, maupun pelaku bisnis syariah. Hal tersebut dilakukan dengan mendorong sosialisasi nilai-nilai etika bisnis syariah. Dengan demikian, kegiatan operasi bisnis lembaga keuangan dan perbankan syariah dapat dijalankan sesuai etika syariah.
Pendapat mengenai belum diterapkannya etika bisnis syariah juga sempat diungkapkan Direktur Bidang Syariah LPPI, Ari Mooduto akhir tahun lalu. Menurut dia, berdasarkan pengkajian lembaganya, masih banyak manajemen direksi bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) yang masih menerapkan budaya perbankan konvensional. Sehingga, hal tersebut berdampak pada citra perbankan syariah.

 
 

 
 Posts
Posts
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
0 komentar: