Prinsip dan Etika Bisnis Syariah

Dalam lima tahun terakhir perkembangan bisnis dengan latar belakang agama, yaitu Islam kian marak dan menjamur. Meski baru sebatas dibidang perbankan, asuransi, micro finance, pendidikan, kesemuanya merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Hingga saat ini kita sudah tidak asing lagi dengan istilah Bank Syariah sebagaimana yang pertama kali dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Syariah, TK-SD Islam Terpadu, dan lain sebagainya. Maka tidak berlebihan kalau kemudian M. Syafi’i Antonio mengatakan “Spiritual is the Soul of Advance and Integrated Marketing”.
Seiring dengan kesadaran masyarakat Indonesia–yang mayoritas penduduknya muslim—terhadap keharusan menggunakan dan memanfaatkan produk (barang maupun jasa) yang halal dan barokah, maka peran produsen atau perusahaan-perusahaan berbasis syariah menjadi sebuah alternative masa depan yang sangat menjanjikan. Barangkali ini dianggap terlalu optimis. Tapi itulah trend yang sekarang sedang menuju ke arah sana.
Jika melihat perkembangan bisnis syariah termasuk juga lembaga-lembaga syariah di negara-negara muslim lainnya seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, Malaysia, bahkan Singapura, Indonesia sudah tertinggal cukup jauh. Tak kalah heboh, Negara-negara Eropa pun kini sedang berpikir untuk membuka unit-unit usaha syariah.
Satu sisi tentang perkembangan itu kita semua patut bersyukur. Namun pada sisi yang lain, kita juga patut waspada. Mengapa? Karena bukan tidak mungkin berbagai variasi produk syariah yang bermunculan saat ini ternyata tidak lebih dari sekedar ‘berganti nama’. Secara paradigmatic sebuah perusahaan bisa saja tetap berpijak pada konsep bisnis sekuler-kapitalistik, tapi di poles dengan polesan syariah atau tepatnya etika Islami, seperti : jujur, amanah dan sejenisnya. Al hasil, yang penting bagi perusahaan itu mendapatkan market share yang menguntungkan di pasar syariah.
Religion brand sebagaimana produk syariah kini, meski mungkin pangsa pasarnya lebih spesifik dan sangat segmented, sangat mungkin dalam waktu dekat akan menjadi produk yang banyak dibutuhkan oleh semua orang, bukan saja umat Islam. Inilah tantangan kita, khususnya bagi pengusaha muslim untuk membangun peradaban bisnis yang syar’i. Bukan saja sekedar polesan, tapi juga asas, konsep, manusia, implementasi dan hasil yang benar-benar menampilkan sosok bisnis berbasis syariah yang utuh, unik dan barokah.
Dalam konteks perkuliahan etika bisnis syariah, judul makalah ini sebenarnya merupakan titik temu dari materi sebelumnya. Karena bisnis syariah sejatinya berupa perbankan syari’ah, asuransi syariah, pegadaian syariah pasar modal syariah, penjaminan syariah, hotel syariah dan lainnya (lembaga keuangan dan bukan keuangan). Nah, bagaimana bisnis syariah ini dijalankan dan bagaimana perkembangannya di Indonesia, akan dibahas dalam makalah ini.

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN ETIKA BISNIS

Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang ekonom klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka.
Di Indonesia Paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik.
Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.


Kebangkitan Etika Bisnis
Sebenarnya, Di Barat sendiri, pemikiran yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi bersifat netral etika seperti di atas, akhir-akhir ini telah digugat oleh sebagian ekonom Barat sendiri. Pandangan bahwa ilmu ekonomi bebas nilai, telah tertolak. Dalam ilmu ekonomi harus melekat nuansa normatif dan tidak netral terhadap nilai-nilai atau etika sosial. Ilmu ekonomi harus mengandung penentuan tujuan dan metode untuk mencapai tujuan. Pemikiran ini banyak dilontarkan oleh Samuel Weston, 1994, yang merangkum pemikiran Boulding(1970), Mc Kenzie (1981), dan Myrdal (1984).
Pada tahun 1990-an Paul Ormerof, seorang ekonom kritis Inggris menerbitkan bukunya yang amat menghebohkan “The Death of Economics, Ilmu Ekonomi sudah menemui ajalnya. (Ormerof,1994). Tidak sedikit pula pakar ekonomi millenium telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral dalam kehidupan ekonomi dan bisnis modern. Amitas Etzioni menghasilkan karya monumental dan menjadi best seller; The Moral dimension: Toward a New Economics (1988). Berbagai buku etika bisnis dan dimensi moral dalam ilmu ekonomi semakin banyak bermunculnan.
Jadi, menjelang millenium ketiga dan memasuki abad 21, konsep etika mulai memasuki wacana bisnis. Wacana bisnis bukan hanya dipengaruhi oleh situasi ekonomis, melainkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi, serta pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang para pelaku bisnis atau ahli ekonomi. Keburukan-keburukan bisnis mulai dibongkar. Mulai dari perkembangan pasar global, resesi yang mengakibatkan pemangkasan anggaran PHK, enviromentalisme, tuntutan para karyawan yang makin melampaui sekedar kepuasan material, aktivisme para pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan go public atau trans nasional, kaedah-kaedah baru di bidang managemen, seperti Total Quali¬ty Management, rekayasa ulang dan bencmarking yang menghasilkan pemipihan hirarki dan empowerment, semuanya telah men¬ingkatkan kesadaran orang tentang keniscayaan etika dalam aktivitas bisnis.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis Barat -yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang amat riskan- mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi spekulasi. Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan bahwa kejahatan spekulasi yang agressif, paling baik bila dicegah dengan kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius. Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab, bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua industri”.
Pandangan-pandangan di atas menunjukkan, bahwa di Barat telah muncul kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika memasuki lapangan bisnis.
Kecenderungan Baru
Perusahaan-perusahaan besar, model abad 21, kelihatannya juga mempunyai kecenderungan baru untuk mengimplementasikan etika bisnis sebagai visi masyarakat yang bertanggung-jawab secara sosial dan ekonomis. Realitas di atas, dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh James Liebig, penulis Merchants of Vision. Dalam penelitian itu, ia mewawancarai tokoh-tokoh bisnis di 14 negara. James Liebig menemukan enam perspektif, yang umum berlaku, sbb: 1. Bertindak sesuai etika, 2. Mempertinggi keadilan sosial, 3. Melindungi lingkungan, 4. Pemberdayaan kreatifitas manusia, 5. Menentukan visi dan tujuan bisnis yang bersifat sosial dan melibatkan para karyawan dalam membangun dunia bisnis yang lebih baik, menghidupkan sifat kasih sayang dan pelayanan yang baik dalam proses perusahaan, 6. Meninjau ulang pandangan klasik tentang paradigma ilmu ekonomi yang bebas nilai. Perspektif di atas menunjukkan bahwa etika bisnis yang selama ini jadi cita-cita, kini benar-benar menjadi mudah diwujudkan sebagai kenyataan.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak etika dalam dunia bisnis, bahkan kepatuhan kepada etika bisnis, sesungguhnya, bersifat kondusif terhadap upaya meningkatkan keuntungan pengusaha atau pemilik modal. Misalnya, para pengusaha sekarang, percaya bahwa kesenjangan gaji yang tidak terlalu besar antara penerima gaji tertinggi dan terendah dan fasilitas-fasilitas yang diterima oleh kedua kelompok karyawan ini, akan mendorong peningkatan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Karyawan yang dulu cendrung dianggap sebagai sekrup dalam mesin besar perusahaan, kini diberdayakan. Perempuan yang selam ini sering menjadi korban tuntutan efisiensi, sekarang mendapatkan perhatian yang layak.
Perusahaan-perusahaan besar kinipun berlomba-lomba menampilkan citra diri yang sadar lingkungan, bukan saja lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial dan budaya. Jika di sarang kapitalisme sendiri, (Amerika dan Eropa) telah mulai berkembang trend baru bagi dunia bisnis, yaitu keniscayaan etika, (meskipun mungkin belum sempurna), tentu kemunculannya lebih mungkin dan lebih dapat subur di negeri kita yang dikenal agamis ini.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa eksistensi etika dalam wacana bisnis merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam situasi dunia bisnis membutuhkan etika, Islam sejak lebih 14 abad yang lalu, telah menyerukan urgensi etika  bagi aktivitas bisnis.
Islam Sumber Nilai dan Etika
Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial.
Aktivitas bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif. Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-pusat kapitalisme. Suatu perkembangan baru yang menggembirakan.
Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).
Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang bereputasi international yang mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan dasar itu Nabi membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. Prinsip-prinsip bisnis yang ideal  ternyata pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa tata ekonomi yang berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional, negara Madinah. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Nabi itu, berguna untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi dunia yang berkeadilan.
Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.
Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan, dan dalam rangka melaksanakan titah Tuhan. (QS. 62:10)
Keseimbangan dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil. Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31). Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan. Dalam Islam, Harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19)
Kebebasan, berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan.
Pertanggungjawaban, berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
BAB III
ETIKA BISNIS SYARI’AH
Salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis.  Pengertian etika adalah a code or set of principles  which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia). Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika. Salah satu kajian etika yang amat populer memasuki abad 21 di mellinium ketiga ini adalah etika bisnis.
Secara bahasa, Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ li al istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm). Sedang secara istilah Syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Syafi’I Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri, Syariah tidak saja komprehensif, tetapi juga universal. Universal bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang sosial (ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim dan non-Muslim. (Syariah Marketing, Hal. 169). Dengan mengacu pada pengertian tersebut, Hermawan Kartajaya dan Syakir Sula memberi pengertian bahwa Bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan penghormatan atas hak masing-masing. (Syariah Marketing, hal. 45). Pengertian yang hari lalu cenderung normatif dan terkesan jauh dari kenyataan bisnis kini dapat dilihat dan dipraktikkan dan akan menjadi trend bisnis masa depan.
1.      Etika bisnis syari’ah
Etika dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set of principles which people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan lapangan etika. Perbedaan antara moral dan etika sering kabur dan cendrung disamakan. Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur dan bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana.Bisnis merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia.
Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-pilihan penggunaan factor produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar prilaku kalangan pebisnis. Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak terkait dengan etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, lingkungan rusak dan karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Abdalla Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di Mankata State Univeristy menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, apakah etika bisnis syariah juga bisa meminimalisir keuntungan atau malah merugikan ?. Jawabnya tergantung bagaimana kita melihatnya. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Etika yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan (survive) dalam jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita. Apakah memilih keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip etika –dalam hal ini etika bisnis syariah-.
Bisnis Syariah. Bisnis itu dalam Islam merupakan kegiatan berdagang. Kegiatan Bisnis Syariah dalam Islam sangat berbeda dengan kegiatan ekonomi sekuler (kapitalis) yang beranggapan bahwa dalam setiap urusan bisnis tidak dikenal adanya etika sebagai kerangka acuan, sehingga dalam pandangan kaum kapitalis bahwa kegiatan bisnis amoral. Prinsip ini menunjukkan bahwa setiap kegiatan Bisnis Syariah tidak ada hubungannya dengan moral apa pun, bahkan agama sekalipun. Menurut ekonomi kapitalis setiap kegiatan ekonomi didasarkan pada perolehan kesejahteraan materi sebagai tujuan utama. Dalam Bisnis Syariah manusia memiliki peranan yang sangat penting sebagai pelaku bisnis.
Pemuatan prinsip-prinsip moral dalam sumber hukum menjadikan etika Bisnis Syariah sebagai basis yang harus dipegang dan dijalankan seseorang atau kelompok dalam melakukan aktivitasnya. Islam membangun pribadi individu secara terpadu antara kebutuhan dunia dan akherat secara bersamaan, seimbang (harmonis) dengan melihat pertimbangan dan hasil yang akan diperoleh sebagai pertanggungjawaban manusia.
2.      Prinsip Dasar dan Etika Dalam Bisnis Syari’ah
Ada empat prinsip (aksioma) dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah, yaitu: Tauhid (Unity/kesatuan), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will), dan Tanggung Jawab (Responsibility).
a.       Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
b.      Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
c.       Tanggung Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa hukum-hukum formal maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain sebagainya.
d.      Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam,tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif.Kepentingan individu dibuka lebar.Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat.infak dan sedekah.

3.      Pentingnya Mendorong Etika Bisnis Syariah


Pentingnya Mendorong Etika Bisnis Syariah. Industri keuangan dan perbankan syariah terus berkembang di Indonesia. Hal tersebut didorong semakin banyaknya masyarakat yang menyadari pentingnya bersyariah dalam berekonomi. Kondisi tersebut akhirnya mendorong berbagai lembaga keuangan konvensional berlomba membuka divisi atau cabang syariah. Tujuannya agar dapat memberikan layanan keuangan syariah bagi masyarakat.

Berdasarkan data publikasi Bank Indonesia (BI) hingga Juli lalu, terdapat tiga bank umum syariah (BUS) dan 24 unit usaha syariah bank umum konvensional (UUS BUK). Selain itu, terdapat sebanyak 107 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Sedangkan, berdasarkan data bersumber situs Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), asuransi syariah saat ini berjumlah lebih dari 37 perusahaan atau cabang syariah. Selain itu, terdapat tiga perusahaan reasuransi yang memiliki divisi syariah dan lima broker asuransi syariah.

            Namun, menurut Chairman Mudharabah Institute, Muhammad Rizal Ismail, perkembangan keuangan dan perbankan syariah tersebut tidak terjadi secara menyeluruh. Perkembangan tersebut hanya terjadi pada sistem dan produk keuangan syariah. Sedangkan, perilaku pelaku keuangan dan perbankan syariah masih menggunakan pola konvensional. ''Saat ini penerapan ekonomi syariah dalam bisnis keuangan dan perbankan syariah hanya 50 persen karena hanya produknya saja dan belum perilaku Sumber Daya Manusianya,'' katanya kepada Republika, Kamis, (30/8).

             Rizal menyebutkan, lembaga keuangan syariah hendaknya menerapkan etika bisnis syariah secara konsisten. Sebabnya, bila lembaga tersebut menerapkan etika konvensional dan bertentangan dengan prinsip syariah, hal tersebut diyakini akan memperburuk citra keuangan syariah. Karena itu, lembaga keuangan syariah perlu mendorong penerapan etika bisnis syariah dalam operasi bisnis. Penerapan etika bisnis syariah, menurut Rizal, bertujuan untuk merealisasikan prinsip good corporate governance (GCG) bagi lembaga keuangan syariah. Namun, penerapan GCG bagi lembaga keuangan syariah (LKS) berbeda dengan lembaga keuangan konvensional karena GCG LKS disesuaikan dengan prinsp syariah. ''Misalnya saya masih melihat ada gejala riswah (suap) yang dipraktikkan lembaga bisnis syariah yang dianggap sebagai marketing fee,'' katanya.

             Karena itu, menurut Rizal, penerapan etika bisnis syariah penting didukung semua pihak baik pemerintah, regulator moneter, maupun pelaku bisnis syariah. Hal tersebut dilakukan dengan mendorong sosialisasi nilai-nilai etika bisnis syariah. Dengan demikian, kegiatan operasi bisnis lembaga keuangan dan perbankan syariah dapat dijalankan sesuai etika syariah.

             Pendapat mengenai belum diterapkannya etika bisnis syariah juga sempat diungkapkan Direktur Bidang Syariah LPPI, Ari Mooduto akhir tahun lalu. Menurut dia, berdasarkan pengkajian lembaganya, masih banyak manajemen direksi bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) yang masih menerapkan budaya perbankan konvensional. Sehingga, hal tersebut berdampak pada citra perbankan syariah.